NAMA atau sebutan NUSANTARA dan INDONESIA boleh dibilang sudah begitu akrab di telinga kita, namun pernahkah kita bertanya tentang asal-usul dari kedua nama yang cukup terkenal tersebut ? — Bila sudah mungkin anda hanya mengingatnya kembali, namun bila belum inilah barangkali kisah ringkasnya sebagai pengetahuan tambahan.
---
Sebutan pada zaman Prasejarah hingga sebelum tibanya Bangsa Eropa pada abad ke-15
Lama sebelum adanya nama Indonesia pada abad ke-2 M kawasan yang kemudian disebut Indonesia sebagian kecil sudah dikenal oleh masyarakat dunia; setidaknya Ptolemaeus dalam buku geografi klasiknya (Geographike Hyphegesis, kurang-lebih tahun 150-an M) pernah menyebut-nyebut nama Iabadiu (= Javadwipa, dalam sebutan Bahasa Sansekerta atau Javadiu dalam bahasa Prakerta = Pulau Jawa) dan Argyre (= Negeri Perak = Salakanagara, sebuah kerajaan di ujung barat Pulau Jawa bagian Barat). Kemungkinan besar geograf Yunani-kuno warga Romawi yang tinggal di Mesir ini mendapat sumber dari ceritera/kisah perjalanan orang Arab dan India yang sudah sejak lama melawat ke Nusantara (yang oleh Orang Cina kawasan ini disebut sebagai Nan-hai = Kepulauan Laut Selatan). — Orang Arab sendiri menyebut kawasan Nusantara sebagai Jaza’ir al-Jawi (= Kepulauan Jawa), bahkan hingga kini, sehingga orang dari Samathrah (Sumatera), Sholibis (Selebes; Sulawesi), Sundah (Sunda) semuanya disebut sebagai Jawi. — Orang Arab sebagai pelaut pedagang mencari kamper/kapur barus dan kemenyan (Styrax sumatrana) hingga kepulauan Indonesia, khususnya Sumatera. Dalam sebutan Latin kemenyan disebut benzoe, sebutan ini konon berasal dari kata ban jawi kependekan dari sebutan Arab luban jawi (= kemenyan Jawa), yang kala itu hanya terdapat di P. Sumatra, dan banyak digunakan di Timur Tengah, khususnya di Mesir Kuno Zaman Firaun.
Orang India menyebut kawasan Indonesia kuno sebagai Dwipantara, yang identik dengan Nusantara. — Dalam kisah Ramayana (yang diduga dibuat sekitar abad Ke-5 – 4 SM) ada disebut-sebut tentang usaha Rama mencari Dewi Sinta yang diculik oleh Ravana (Rahwana) hingga Suwarnadwipa (= Pulau Emas, Sumatra) yang terletak di Kepulauan Dwipantara. — Tentang arti sebutan Nusantara seperti dituturkan pada pengantar bahwa banyak pengertian dari arti nama Nusantara (yang berasal dari kata Sansekerta Nusa dan Antara ini), namun yang paling umum diartikan sebagai “Kepulauan yang terletak di antara 2 benua (yakni benua Asia dan Australia), dan di antara 2 Samudera (yakni Samudera Hindia dan Samudera Pasifik)”.
Peta Dunia salinan Nicolai Doni's dari karya geografi Ptolemaeus (dalam Ptolemæi Cosmographia, Ulm. 1482)
--
CATATAN : Java atau Yava, dalam bahasa Sansekerta berarti Jawawut = Kunyit (Sunda) = En ? (Jawa)
--
Sebutan pada masa kedatangan Bangsa Eropa pada abad ke-15 hingga awal abad ke-20
Pada abad ke-15 M datanglah para penjelajah orang Barat dari Eropa, Bangsa Eropa pertama yang tiba di Nusantara adalah orang Portugis (di samping Spanyol yang datang hampir bersamaan). Mereka menyebut kawasan ini sebagai Sunda atau Ilhas de Sonda atau Islas da Sunda (= Kepulauan Sunda); mungkin karena orang Portugis merupakan orang Eropa pertama yang berhubungan diplomatik dengan Kerajaan Sunda; atau mungkin juga sebutan ini digunakan berdasarkan atas sebutan dari naskah geografi Ptolemaeus yang selain menyebut Iabadiu juga menyebut-nyebut tentang adanya kawasan yang disebut Sunda di belahan selatan. Dari sebutan ini maka lahirlah julukan Kepulauan Sunda (Ilhas de Sonda), dan dari sanalah kemudian ada sebutan kepulauan Sunda Besar (Sonda Maior; Sunda Mayor) dan Sunda Kecil (Sonda Menor; Sunda Minor). — Setelah orang Portugis kemudian menyusul datanglah orang Belanda. Orang Belanda ini seperti orang Inggris (yang berasal dari Eropa Barat dan Utara), menyebut kawasan ini sebagai Indie (Indian, atau Hindia).
Bangsa-bangsa Eropa yang berasal dari kawasan sekitar Eropa Barat dan Utara yang pertama kali datang ke Nusantaara umumnya menyebut kawasan ini sebagai “Hinda” (Indie, Indian); pada mulanya mereka beranggapan bahwa Asia itu hanya terdiri atas Arab, Persia, India, dan Cina; Bagi mereka (karena keterbatasan informasi), daerah yang terbentang luas di kawasan Samudera Hindia (Lautan Indonesia) antara Persia dan Cina semuanya disebut sebagai Hindia, sehingga Semenanjung Asia Selatan yang lebih dahulu dijelajahi (dan berada di depan) kemudian disebut sebagai “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara yang dijelajah belakangan (serta terletak lebih belakang) dinamai sebagai “Hindia Belakang”. Sedangkan kawasan Nusantara dalam bahasa Belanda, Inggris dan Perancis disebut sebagai “Kepulauan Hindia” (dalam sebutan aslinya Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau lebih spesifik “Hindia Timur” (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais). Sebutan seperti ini resmi tidak resmi berlanjut dari abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-20, sepanjang masa Belanda menjajah Indonesia.
---
Sebutan resmi pada masa Penjajahan Belanda, Inggris dan Jepang
Ketika Indonesia dijajah oleh Belanda (dari abad ke-16 hingga sekitar pertengahan abad ke-20, dari zaman VOC hingga zaman Guvernement), nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie atau Hindia Belanda (Melayu), Hindia Walanda (Sunda). Lengkapnya Nederlandsch Oost Indie (Hindia Timur Nederland), untuk membedakan dengan Nederlandsch West Indie (Hindia Barat Nederland, di kawasan Suriname dan sekitarnya). Sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai sebutan To-Indo (Hindia Timur).
Nama sebutan tersebut belakangan cenderung kurang memuaskan bagi sementara orang Eropa karena dirasa tidak/kurang spesifik dan terlalu berbau kolonial, sehingga kemudian timbul beberapa sebutan alternatif untuk menggatinya, seperti dari Douwes Dekker. — Eduard Douwes Dekker (1820-1887), dengan nama pena Multatuli, pada abad ke-19 pernah mengusulkan nama yang dianggapnya spesifik untuk menyebut kawasan Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda) dengan sebutan Insulinde, walaupun artinya ya itu-itu juga = Kepulauan Hindia (dari kata Latin insula = pulau; Inde = Hindia atau India). — Kemudian Pada era tahun 1920-an (pada masa bangkitnya pergerakan Nasional), Douwes Dekker yang lain bernama Ernest Francois Eugene Douwes Dekker alias Dr. Setiabudi (1879-1950; seorang Indo keturunan Belanda-Jawa yang adalah cucu dari adik Multatuli) sebagai tokoh pergerakan Indonesia keturunan Indo-Belanda dengan jiwa yang lebih Indonesia ketimbang Belanda, mencoba menghidupkan sekaligus mempopulerkan kembali sebutan lama Nusantara yang pernah digunakan pada zaman dahulu (khususnya pada zaman Majapahit) namun dengan pandangan dan pengertian baru. Dalam zaman Majapahit sebutan tersebut di antaranya terdapat dalam naskah lontar berjudul Pararaton, yang ditemukan di Bali sekitar akhir abad ke-19 (lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan dipublikasikan oleh N.J. Krom pada tahun 1920). — Sebelum adanya sebutan Indonesia, boleh dibilang sebutan Nusantara inilah yang agak populer pada masa sebelum kemerdekaan, walaupun tidak sebagai nama resmi.
Suatu catatan : Nama Nusantara pada zaman Majapahit digunakan untuk menyebut pulau-pulau di luar Jawa (pulau seberang Jawa) dengan pengertian cenderung imperialistis, karena terkait dengan ambisi Majapahit untuk menguasai semua Negara di kawasan Nusantara/Indonesia dan sekitar Asia Tenggara masa itu; Seperti tercermin dalam Sumpah Mahapatih Majapahit kala itu yang bernama Gajah Mada. Dalam sumpahnya yang dikenal sebagai Sumpah Palapa, ia pernah berikrar bahwa : “Lamun huwus kalah Nusantara, isun amukti palapa” (yang artinya kurang-lebih bermakna : “Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat” atau diartikan juga sebagai : “Bila telah terkuasai seluruh Nusantara barulah saya menikmati kebahagiaan duniawi”).
---
Kisah munculnya sebutan Indonesia
Sebutan Indonesia (yang kini dipakai sebagai nama Negara) secara “embriotik” baru muncul pada abad ke-19; kisah awalnya seperti ini : Sebagai pencetus pertama nama atau sebutan tersebut adalah George Samuel Windsor Earl (1813-1865), seorang redaksi majalah ilmiah tahunan tentang etnologi/etnografi Asia Tenggara di Singapura bernama Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (disingkat JIAEA) yang terbit pada tahun 1847 dan dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869).
Earl yang menggabungkan diri dan kemudian menjadi redaktur pada majalah ilmiah tersebut (tahun 1849), dalam tahun 1850 menulis sebuah artikel pada JIAEA Volume IV, halaman 66-74, berjudul : “On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations”. Dalam artikelnya itu intinya ia menyatakan bahwa sudah tiba waktunya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki sebuah nama yang lebih khas (a distinctive name) bagi wilayahnya, sebab nama “Hindia (= India)” menurutnya cenderung tidak tepat serta sering kali rancu dengan adanya “India” yang lain. Earl mengajukan dua opsi (pilihan) nama alternatif, yakni : Indunesia (dari kata Indu dan Nesos) atau Malayunesia (dari Malayu dan Nesos --- kata Nesos dalam sebutan tersebut berasal dari bahasa Yunani yang berarti Pulau, sama dengan Nusa dalam bahasa Sansekerta). Pada halaman 71 tersebut tertulis : “… the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians”. Earl sendiri lebih memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) ketimbang Indunesia (Kepulauan Hindia). Sebutan Malayunesia menurutnya sangat tepat bagi ras Melayu, sementara sebutan Indunesia dapat saja digunakan untuk kawasan Srilanka (Ceylon) dan Maladewa (Maldives). Lagi pula, tambahnya, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini ? Dalam tulisannya tersebut Earl kemudian secara berlajut menggunakan sebutan Malayunesia dan tidak lagi memakai sebutan Indunesia.
Sementara di pihak lain (namun dalam JIAEA Volume IV yang sama), halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel berjudul The Ethnology of the Indian Archipelago. Dalam awal tulisannya, Logan setuju terhadap pendapat Earl dan menegaskan perlunya sebuah nama khas bagi kepulauan yang saat itu disebut sebagai Indian Archipelago (Kepulauan India). Sebab menurutnya sebutan “Indian Archipelago” terlalu panjang dan lagi acapkali membingungkan. Lalu Logan memungut nama Indunesia yang dicetuskan oleh Earl terdahulu, namun dengan cara menggati huruf u (pada Indunesia) dengan huruf o, alasanya agar ucapannya lebih baik, dan kemudian lahirlah nama Indonesia untuk pertama kalinya di dunia (tahun 1859).
Sebutan Indonesia dalam tulisan Logan yang pertama kali di Dunia tersebut tepatnya terletak pada halaman 254 yang menyatakan : “Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago”.
Dari sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan tak lama kemudian lambat-laun pemakaian sebutan yang khas tersebut menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi/etnografi dan geografi.
Pada tahun 1884 Adolf Bastian (1826-1905) seorang guru besar etnologi di Universitas Berlin) menerbitkan buku tentang Indonesia berjudul Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel (sebanyak 5 volume), yang isinya memuat hasil penelitiannya ketika ia mengembara ke kawasan ini dalam tahun 1864 – 1880. Buku Bastian inilah yang boleh dibilang mulai memopulerkan istilah “Indonesia”, di kalangan ilmuwan, khusunya di kalangan para sarjana Belanda, dalam pada itu sempat timbul salah anggapan bahwa sebutan “Indonesia” itu ciptaan Bastian (saking lekatnya nama Indonesia dalam buku Bastian). Pendapat yang keliru ini bahkan antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil sebutan “Indonesia” tersebut dari Logan.
Pada akhirnya (hingga saat ini) nama Malayunesia kemudian menjadi Malaysia, sementara Indunesia setelah diubah oleh Logan menjadi Indonesia.
---
Nama Indonesia di masa awal pergerakan Nasional (Pada awal abad ke-20)
Warga bangsa Indonesia yang tercatat secara resmi sebagai orang pertama yang menggunakan sebutan “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat (alias Ki Hajar Dewantara). Yakni ketika ia dibuang ke Negeri Belanda tahun 1913, di mana di sana beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau (Biro Pers Indonesia).
Di masa kebangkitan Nasional (terutama sekitar tahun 20-an) nama Indonesia tersebut mempunyai makna dan gaung tersendiri secara politis, karena menjadi penjelas identitas suatu tanah air bagi bangsa yang terjajah; makanya di masa awal pergerakan nama Indonesia tersebut sempat menimbulkan kecurigaan sekaligus kekhawatiran dari pihak pemerintah jajahan Belanada kala itu.
Sebagai suatu bagian dari langkah ke arah politik kemerdekaan Nasional bangsa Indonesia, banyak kegiatan dilakukan oleh para tokoh pertintis kemerdekaan saat itu, dengan menggunakan sebutan Indonesia sebagai “nama bertuah”. Di antaranya pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta (seorang mahasiswa Handels Hoogeschool/Sekolah Tinggi Ekonomi di Rotterdam), organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda, yang dibentuk pada tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging diubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia.
Lalu majalah organisasi mereka, yang semula bernama Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Dalam tulisannya pada suatu edisi majalah tersebut Bung Hatta menegaskan bahwa : “Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya”. — Sementara itu, di tanah air pada tahun 1924 Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club.
Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah konon tiga organisasi utama di tanah air yang mula-mula secara terang-terangan menggunakan nama “Indonesia” pada masa pra-kemerdekaan. Akhirnya pada tahun 1928 untuk pertama kalinya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa Nasional dalam suatu kongres yang disebut Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini disebut sebagai Sumpah Pemuda. Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Moehammad Hoesni Thamrin, Wiwoho Poerbohadidjojo, dan Soetardjo Kartohadikoesoemo, mengajukan mosi (petisi) kepada Pemerintah Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch-Indie”. Namun Belanda tidak peduli dan bahkan mosi (petisi yang kemudian dikenal sebagai Petisi Soetardjo) tersebut ditolak mentah-mentah.
Pada tahun 40-an tatkala pecah Perang Dunia ke-II, Belanda di Indonesia dengan mudah dapat dikalahkan oleh pasukan Jepang. Dengan jatuhnya Hindia-Belanda ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, maka secara serta-merta lenyaplah sudah nama “Hindia Belanda” untuk selamanya dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi kemudian pada tanggal 17 Agustus 1945, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Begitulah sekilas kisah asal-usul nama Indonesia dan Nusantara. Kini kedua nama/sebutan tersebut acapkali digunakan dalam berbagai kesempatan, dalam banyak bidang yang sangat beragam. Keduanya memang beda (dengan makna masing-masing) namun bagaikan dua sisi keping mata uang, keduanya sama-sama mempunyai arti yang menyatu, seakan tak dapat dipisahkan dengan begitu saja.
---
----
SITUS REFERENSI TENTANG INDONESIA DAN NUSANTRA
1. |
2. | Berbagai sumber |
—————————————
Tidak ada komentar:
Posting Komentar