Jumat, 16 Maret 2012

ANGKLUNG (Sunda)

     ANGKLUNG, adalah salahsatu jenis alat musik tradisional Nusantara asal Sunda (Jawa Barat dan Banten) terbuat dari 2 – 3 tabung bambu atau lebih yang dirangkai menjadi satu dalam satu rangka yang disebut ancak (frame); cara memainkannya digoyangkan. Setiap 1 buah angklung merupakan 1 not nada, sehingga untuk memainkan sebuah lagu diperlukan beberapa angklung. — Untuk ritem (pangiring) minimal berjumlah 4 (seperti dalam kesenian réog dulu atau pada angklung-Baduy); sementara untuk melodi (panglagu) minimal  berjumlah 8 atau lebih (misal pada kesenian angklung Buncis dari Kabupaten Bandung).
      Sebagai suatu catatan di Bali pun terdapat alat musik yang disebut angklung (angklung Bali) namun dengan bentuk dan pengertian yang berbeda dengan angklung Sunda.
---
BAGIAN-BAGIAN DARI ANGKLUNG
     Sebuah angklung atau saancak angklung terdiri atas bagian rangka yang disebut ancak (frame) dan bungbung atau tabung pembentuk bunyi yang disebut parungpung atau rumpung. — Bagian ancak terdiri atas tihang (3) dan palang atau toros (4). Bagian parungpung terdiri atas parungpung-tatapakan atau tatapakan (1) yang  tertidur mendatar (horisontal) di bawah dan parungpung-sosoraan atau parungpung-laras (2) yang berdiri tegak (vertikal) di atasnya dengan menggantung pada batang palang toros; bagian atasnya “disogat” (dibuang sebelah sebagian, seperti tabung pada calung) dan diberi Angklung14D_thumb46[6]berluang untuk menggantung (liang-toros). Parungpung-laras/parungpung-sosoraan (sebagai tabung bernada, dan juga sebagai resonator atau lawong) berjumlah 2 atau 3, bahkan pada angklung moderen yang bertangga nada diatonis ada yang berjumlah 4; terdiri atas parungpung-anak (2a), parungpung-panengah (2b), parungpung-indung (2c), dan parungpung-panyuwuk bila ada. Bagian bawah dari parunpung-laras atau suku-parungpung masuk ke dalam lobang bagian atas dari tatapakan (cokrah-tatapakan) sehingga ketika angklung digoyang suku dan bibir lubang tatapakan beradu dan menimbulkan suara (sora-laras) tertentu. — Kesemua tabung parungpung-laras ini (masiung-masing dengan nada berbeda namun menurut pasangannnya sesuai dengan susunan papatet/komposisi paduan nada tertentu), sehingga ketika sebuah angklung dibunyikan secara terpadu membentuk akor (layeutan-sora) dengan harmonis. —  Cara membunyikan angklung digoyangkan/diguncangkan (dioyagkeun atau diendagkeun dan digedagkeun). Suaranya ngurulung atau ngungklung, mungkin dari suaranya ini (yang terdengar seperti bunyi klung-klung) makanya namanya disebut angklung.
     Seperti disebutkan di awal untuk membentuk suara ritem (pangiring) atau melodi (panglagu) angklung senantiasa harus berjumlah lebih dari satu, atau satu set dalam rangkaian nada yang disebut sebagai saparangkat. Satu, dua atau lebih angklung dengan nada dan fungsi tertentu yang dipegang/dibunyikan oleh seseorang disebut tatapan (dalam hal ini satatapan dapat berarti berjumlah 1, 2, 3 atau lebih angklung yang dibunyikan oleh seorang pemain). —  Satu tatapan angklung (yang terdiri dari satu atau lebih tersebut) mungkin saja dimainkan oleh satu orang semuanya atau soranganan (sendirian, seperti dalam Angklung-rengkung) atau oleh banyak orang sarombongan (membentuk orkestra). Bahkan seperti tercatat oleh The Guines Book Of Record dapat dimainkan oleh ribuan orang.
CATATAN : Dalam angklung-rengkung (yang keberadaannya kini mungkin sudah punah), seorang pemain yang memainkan banyak angklung sendirian tersebut bahkan sambil meniup goong-bungbung atau goong-awi (dari bambu pula).
    Setiap tatapan ancak angklung mempunyai nama-nama tersendiri sesuai dengan nada dan fungsinya masing-masing; misal dalam perangkat angklung tradisional dari Kabupaten Bandung yang terdiri atas 8 ancak tatapan terdapat nama-nama angklung sebagai berikut :
1.   Singgul  atau Indung
2.   Jongjorang atau Jongjrong
3.   Ambrug atau Ambrung
4.   Ambrug-panerus atau Ambrung-panerus
5.   Pancer
6.   Pancer-panerus
7.   Éngklong atau Éngklok
8.   Roél
Ambrung dan  ambrung-panerus (2 ancak angklung) dipegang oleh 1 orang; juga Pancer dan Pancer-panerus (2 ancak angklung) dipegang oleh 1 orang; jadi dalam kelompok kesenian yang terdiri atas 8 ancak angklung ini (berdasarkan atas jumlah tatapannya) dimainkan oleh 6 orang (= 6 tatapan).
      Sementara pada angklung Baduy yang berfungsi sebagai pangiring/ritem terdapat 4 buah ancak (rumpung), terdiri atas  :
1.   Kingking
2.   Inclo
3.   Panémpas, dan
4.   Gonggong

—————————

CATATAN : Sebagai ritem angklung bersifat ritmis.
Parungpung kadang disebut rumpung (ini merupakan perubahan dari rungpung, kependekan dari parungpung). Pada pengertian lain rumpung diartikan sebagai ancak atau tatapan.  
Kata Tatapan, mengandung arti : Setiap unit ancak angklung pegangan seseorang pemain angklung (jumlahnya beragam, mungkin 1, 2 atau banyak/lebih dari 2). Kata tatapan berasal dari asal kata tatap, yang dalam bahasa Sunda mengandung makna pegang atau sentuh dengan lembut (seperti pada kata ditatap-diusap = disentuh dan diusap dengan lembut, terhadap benda atau manusia yang sangat disayangi).
-
---
JENIS-JENIS ANGKLUNG
     Angklung banyak macamnya, baik bentuk fisik, tangganada, maupun jenis keseniannya. Berdasarkan atas sifat gaya keseniannya angklung terdiri atas : 1. Angklung tradisional, dan 2. Angklung moderen.
 
Angklung tradisional = Angklung-buhun
     Angklung tradisional atau Angklung-buhun adalah angklung dengan tangganada pentatonis (daminatila), dengan surupan saléndro, pélog atau sorog (madenda). — Angklungtradisional2_thumb16Angklung tradisional masih terdapat di beberapa tempat di wilayah provinsi Jawa Barat dan Banten, seperti di kawasan Bandung, Garut,  Tasikmalaya, Bogor, Sukabumi, Cirebon, Lebak, Pandeglang (Banten; termasuk di Baduy), dsbnya. — Jenis kelompok kesenian yang termasuk angklung tradisional misalnya : Angklung-buncis (dari Bandung), Angklung-badéng (Garut), Angklung-séréd (Tasikmalaya), Angklung-gubrag (Bogor), Angklung-dogdog-lojor (Sukabumi), Angklung-bungko (Cirebon), Angklung-Baduy atau angklung-Kanékés (di Lebak, Banten), dsbnya.
      Dalam beberapa kesenian tradisional Sunda angklung biasa dipadukan dengan alat musik lainnya, seperti dengan dogdog (alat tabuh
berkulit semacam tifa pendek agak besar) atau dogdog-lojor (tifa Sunda, dogdog
angklungbuncis2_thumb105
kecil panjang). — Pada jenis kesenian lainnya terdapat pula bentuk paduan dari
angklung dengan terebang atau terbang (rebana Sunda), dengan nama Bangklung (singkatan dari Terebang-angklung) yang disertai dengan nyanyian kakawihan atau
solawatan yang bernafaskan Islam.
     Pada masa lalu selain sebagai alat musik hiburan biasa angklung-buhun secara khusus digunakan sebagai pengiring dalam upacara adat pertanian yang bersifat sakral (menurut kepercayaan Sunda lama terhadap Dewi Sri atau Nyi Sri Pohaci Dangdayang Tresnawati sebagai Dewi Kesuburan). Hal seperti ini masih dilakukan di masyarakat Sunda Baduy di kawasan Kabupaten Lebak Banten yang masih menganut kepercayaan
image_thumb55
nenekmoyang yang disebut sebagai agama Sunda Wiwitan (di samping juga sebagai alat hiburan biasa pada waktu tertentu). Di masyarakat Baduy angklung tidak boleh dimainkan secara sembarangan (pembuatnya pun termasuk orang khusus; di samping itu pada saat akan digunakan dan disimpan diadakan upacara adat khusus pula); di sana masih ada buyut (pamali) atau tabu tertentu untuk angklung sebagai alat musik yang dianggap keramat (sakral).
       Di beberapa Kecamatan Kabupaten Bandung (seperti di Kecamatan Soreang dan Pangalengan) jenis kesenian ini kadang masih dipergunakan untuk arak-arakan upacara adat Nyungkruk Huluwotan (= Nyukcruk sirahcai; menelusuri hulu sungai). — Pada upacara hiburan biasa angklung dulu biasa digunakan sebagai arak-arakan anak sunat, pesta rakyat, dsbnya.
     Angklung tradisional sebagai kesenian biasa sejauh ini belum ada yang mengembangkannya lebih lanjut, sementara jenis-jenis kesenian angklung tradisional yang masih ada di berbagai daerah di Jawa Barat dan Banten sekarang ini cenderung jumlahnya semakin menyusut (tambah sedikit). Ada suatu kekhawatiran yang beralasan jangan-jangan suatu saat nanti akan mengalami kepunahan bila tak ada generasi penerusnya.
--       
AngklungBaduy_thumb4_thumb3
---
Angklung Moderen
     Angklung modern atau boleh juga disebut Angklung ala Barat adalah angklung dengan tangganada diatomis (doremi, seperti pada musik Barat), dalam bentuk tangganada mayor atau minor. — Contoh angklung moderen adalah Angkung padaéng (= Angkung Pak Daéng) atau Angklung-Sutigna, yang diciptakan untuk pertama kali oleh Pak Daeng Sutigna pada tahun 1930-an (1938), dan kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Saung angklung Udjo  atau dulu dikenal sebagai Saung angklung Mang Udjo  (yang didirikan pada tahun 1966 oleh Pak Udjo Ngalagena sebagai murid dan penerus Pak Daeng). Angklung model ini disebut juga sebagai Angklung Indonesia. — Jenis kelompok kesenian yang termasuk angklung moderen misalnya : Orkestra angklung, Arumba, dsbnya. Termasuk yang digunakan oleh grup SambaSunda. — Pokoknya angklung jenis ini dapat digunakan untuk membawakan lagu musik Barat (termasuk musik Indonesia dan lainnya), baik pop maupun klasik, bahkan musik rock (rock-klasik), seperti image5_thumb6Bohemian Rhapsody dari kelompok Queen.
     SEBAGAI SUATU CATATAN : Perlu diketahui bahwa angklung telah disahkan oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia, atau Alat musik angklung diakui sebagai "The Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity" pada sidang ke-5 Inter-Governmental Committee UNESCO di Nairobi, Kenya, Selasa, 16 November 2010 (16/11/2010).

—————————————

---
Angklung moderen dalam pemecahan rekor pemain angklung terbanyak di Dunia
       Seperti diketahui pada tanggal 9 Juli 2011 telah terpecahkan rekor Permainan angklung terbanyak di Dunia yang diadakan oleh Guiness Book Of RecordAngklungGuiness2_thumb4_thumb3 (Guiness World Record) di Amerika Serikat, tepatnya di Monumen Grounds North Lawn, National Mall Washington DC. Permainan kolosal ini berhasil memecahkan rekor dunia dengan jumlah pemain angklung sebanyak 5180 orang membawakan lagu-lagu pop Barat yang cukup populer seperti We are The World dan Country Road.
       Acara besar ini melibatkan banyak orang dari berbagai wilayah dan negara, sebagian besar dimainkan oleh orang Amerika ditambah sejumlah orang Indonesia dan beberapa warga negara asing lain yang tengah berada di Amerika Serikat. — Kegiatan yang diadakan sekaligus untuk merayakan Festival Multikultural ini dipimpin langsung oleh Daeng Udjo (putera Pak Udjo Ngalagena) dari Saung Angkung Udjo Bandung.

---

REFERENSI DAN ARTIKEL TENTANG ANGKLUNG DARI BEBERAPA SITUS

Beberapa kelompok kesenian angklung di Luar Negeri
  • Angklung Orchester Hamburg, Germany (2003/2004)
  • Lancaster Angklung Orchestra, Lancaster, UK
  • Angklung Hamburg

    Curt Sachs : Real-Lexicon der Musikinstrumente — Im Verlag von Julius Bard, Berlin, 1913.

     

     

    clip_image002

  • ASAL-USUL NAMA NUSANTARA DAN INDONESIA

    image_thumb4NAMA atau sebutan NUSANTARA dan INDONESIA boleh dibilang sudah begitu akrab di telinga kita, namun pernahkah kita bertanya tentang asal-usul dari kedua nama yang cukup terkenal tersebut ? — Bila sudah mungkin anda hanya mengingatnya kembali, namun bila belum inilah barangkali kisah ringkasnya sebagai pengetahuan tambahan.
    ---

    Sebutan pada zaman Prasejarah hingga sebelum tibanya Bangsa Eropa pada abad ke-15

        Lama sebelum adanya nama Indonesia pada abad ke-2 M kawasan yang kemudian disebut Indonesia sebagian kecil sudah dikenal oleh masyarakat dunia; setidaknya Ptolemaeus dalam buku geografi klasiknya (Geographike Hyphegesis, kurang-lebih tahun 150-an M) pernah menyebut-nyebut nama Iabadiu (= Javadwipa, dalam sebutan Bahasa Sansekerta atau Javadiu dalam bahasa Prakerta = Pulau Jawa) dan Argyre (= Negeri Perak = Salakanagara, sebuah kerajaan di ujung barat Pulau Jawa bagian Barat). Kemungkinan besar geograf Yunani-kuno warga Romawi yang tinggal di Mesir ini mendapat sumber dari ceritera/kisah perjalanan orang Arab dan India yang sudah sejak lama melawat ke Nusantara (yang oleh Orang Cina kawasan ini disebut sebagai Nan-hai = Kepulauan Laut Selatan). — Orang Arab sendiri menyebut kawasan Nusantara sebagai Jaza’ir al-Jawi (= Kepulauan Jawa), bahkan hingga kini, sehingga orang dari Samathrah (Sumatera), Sholibis (Selebes; Sulawesi), Sundah (Sunda) semuanya disebut sebagai Jawi. — Orang Arab sebagai pelaut pedagang mencari kamper/kapur barus dan kemenyan (Styrax sumatrana) hingga kepulauan Indonesia, khususnya Sumatera. Dalam sebutan Latin kemenyan disebut benzoe, sebutan ini konon berasal dari kata ban jawi kependekan dari sebutan Arab luban jawi (= kemenyan Jawa), yang kala itu hanya terdapat di P. Sumatra, dan banyak digunakan di Timur Tengah, khususnya di Mesir Kuno Zaman Firaun.
         Orang India menyebut kawasan Indonesia kuno sebagai Dwipantara, yang identik dengan Nusantara. — Dalam kisah Ramayana (yang diduga dibuat sekitar abad Ke-5 – 4 SM) ada disebut-sebut tentang usaha Rama mencari Dewi Sinta yang diculik oleh Ravana (Rahwana) hingga Suwarnadwipa (= Pulau Emas, Sumatra) yang terletak di Kepulauan Dwipantara. Tentang arti sebutan Nusantara seperti dituturkan pada pengantar bahwa banyak pengertian dari arti nama Nusantara (yang berasal dari kata Sansekerta Nusa dan Antara ini), namun yang paling umum diartikan sebagai “Kepulauan yang terletak di antara 2 benua (yakni benua Asia dan Australia), dan di antara 2 Samudera (yakni Samudera Hindia dan Samudera Pasifik)”.
    image_thumb41
    Peta Dunia salinan Nicolai Doni's dari karya geografi Ptolemaeus (dalam Ptolemæi Cosmographia, Ulm. 1482)
    --

    CATATAN : Java atau Yava, dalam bahasa Sansekerta berarti Jawawut = Kunyit (Sunda) = En ? (Jawa)
    --

    Sebutan pada masa kedatangan Bangsa Eropa pada abad ke-15 hingga awal abad ke-20

           Pada abad ke-15 M datanglah para penjelajah orang Barat dari Eropa, Bangsa Eropa pertama yang tiba di Nusantara adalah orang Portugis (di samping Spanyol yang datang hampir bersamaan). Mereka menyebut kawasan ini sebagai Sunda atau Ilhas de Sonda atau Islas da Sunda (= Kepulauan Sunda); mungkin karena orang Portugis merupakan orang Eropa pertama yang berhubungan diplomatik dengan Kerajaan Sunda;  atau mungkin juga sebutan ini digunakan berdasarkan atas sebutan dari naskah geografi Ptolemaeus yang selain menyebut Iabadiu juga menyebut-nyebut tentang adanya kawasan yang disebut Sunda di belahan selatan. Dari sebutan ini maka lahirlah julukan Kepulauan Sunda (Ilhas de Sonda), dan dari sanalah kemudian ada sebutan kepulauan Sunda Besar (Sonda Maior; Sunda Mayor) dan Sunda Kecil (Sonda Menor; Sunda Minor). —  Setelah orang Portugis kemudian menyusul datanglah orang Belanda. Orang Belanda ini seperti orang Inggris (yang berasal dari Eropa Barat dan Utara), menyebut kawasan ini sebagai Indie (Indian, atau Hindia).
          Bangsa-bangsa Eropa yang berasal dari kawasan sekitar Eropa Barat dan Utara yang pertama kali datang ke Nusantaara umumnya menyebut kawasan ini sebagai “Hinda” (Indie, Indian); pada mulanya mereka beranggapan bahwa Asia itu hanya terdiri atas Arab, Persia, India, dan Cina; Bagi mereka (karena keterbatasan informasi), daerah yang terbentang luas di kawasan Samudera Hindia (Lautan Indonesia) antara Persia dan Cina semuanya disebut sebagai Hindia, sehingga Semenanjung Asia Selatan yang lebih dahulu dijelajahi (dan berada di depan) kemudian disebut sebagai “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara yang dijelajah belakangan (serta terletak lebih belakang) dinamai sebagai “Hindia Belakang”. Sedangkan kawasan Nusantara dalam bahasa Belanda, Inggris dan Perancis disebut sebagai “Kepulauan Hindia” (dalam sebutan aslinya Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau lebih spesifik “Hindia Timur” (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais). Sebutan seperti ini resmi tidak resmi berlanjut dari abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-20, sepanjang masa Belanda menjajah Indonesia.
    ---

    Sebutan resmi pada masa Penjajahan Belanda, Inggris dan Jepang

          Ketika Indonesia dijajah oleh Belanda (dari abad ke-16 hingga sekitar pertengahan abad ke-20, dari zaman VOC hingga zaman Guvernement), nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie atau Hindia Belanda (Melayu), Hindia Walanda (Sunda). Lengkapnya Nederlandsch Oost Indie (Hindia Timur Nederland), untuk membedakan dengan  Nederlandsch West Indie (Hindia Barat Nederland, di kawasan Suriname dan sekitarnya). Sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai sebutan To-Indo (Hindia Timur).
         Nama sebutan tersebut belakangan cenderung kurang memuaskan bagi sementara orang Eropa karena dirasa tidak/kurang spesifik dan terlalu berbau kolonial, sehingga kemudian timbul beberapa sebutan alternatif untuk menggatinya, seperti dari Douwes Dekker. — Eduard Douwes Dekker (1820-1887), dengan nama pena Multatuli, pada abad ke-19 pernah mengusulkan nama yang dianggapnya spesifik untuk menyebut kawasan Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda) dengan sebutan Insulinde, walaupun artinya ya itu-itu juga = Kepulauan Hindia (dari kata Latin insula = pulau; Inde = Hindia atau India). Kemudian Pada era tahun 1920-an (pada masa bangkitnya pergerakan Nasional), Douwes Dekker yang lain bernama Ernest Francois Eugene Douwes Dekker alias Dr. Setiabudi (1879-1950; seorang Indo keturunan Belanda-Jawa yang adalah cucu dari adik Multatuli) sebagai tokoh pergerakan Indonesia keturunan Indo-Belanda dengan jiwa yang lebih Indonesia ketimbang Belanda, mencoba menghidupkan sekaligus mempopulerkan kembali sebutan lama Nusantara yang pernah digunakan pada zaman dahulu (khususnya pada zaman Majapahit) namun dengan pandangan dan pengertian baru. Dalam zaman Majapahit sebutan tersebut di antaranya terdapat dalam naskah lontar berjudul Pararaton, yang ditemukan di Bali sekitar akhir abad ke-19 (lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan dipublikasikan oleh N.J. Krom pada tahun 1920). — Sebelum adanya sebutan Indonesia, boleh dibilang sebutan Nusantara inilah yang agak populer pada masa sebelum kemerdekaan, walaupun tidak sebagai nama resmi.
          Suatu catatan : Nama Nusantara pada zaman Majapahit digunakan untuk menyebut pulau-pulau di luar Jawa (pulau seberang Jawa) dengan pengertian cenderung imperialistis, karena terkait dengan ambisi Majapahit untuk menguasai semua Negara di kawasan Nusantara/Indonesia dan sekitar Asia Tenggara masa itu; Seperti tercermin dalam Sumpah Mahapatih Majapahit kala itu yang bernama Gajah Mada. Dalam sumpahnya yang dikenal sebagai Sumpah Palapa, ia pernah berikrar bahwa  : “Lamun huwus kalah Nusantara, isun amukti palapa” (yang artinya kurang-lebih bermakna : “Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat” atau diartikan juga sebagai : “Bila telah terkuasai seluruh Nusantara barulah saya menikmati kebahagiaan duniawi”).
    ---

    Kisah munculnya sebutan Indonesia

            Sebutan Indonesia (yang kini dipakai sebagai nama Negara) secara “embriotik” baru muncul pada abad ke-19; kisah awalnya seperti ini : Sebagai pencetus pertama nama atau sebutan tersebut adalah George Samuel Windsor Earl (1813-1865), seorang redaksi majalah ilmiah tahunan tentang etnologi/etnografi Asia Tenggara di Singapura bernama Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (disingkat JIAEA) yang terbit pada tahun 1847 dan dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869).
          Earl yang menggabungkan diri dan kemudian menjadi redaktur pada majalah ilmiah tersebut (tahun 1849), dalam tahun 1850 menulis sebuah artikel pada JIAEA Volume IV, halaman 66-74, berjudul :On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations”. Dalam artikelnya itu intinya ia menyatakan bahwa sudah tiba waktunya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki sebuah nama yang lebih khas (a distinctive name) bagi wilayahnya, sebab nama “Hindia (= India)” menurutnya cenderung tidak tepat serta sering kali rancu dengan adanya “India yang lain. Earl mengajukan dua opsi (pilihan) nama alternatif, yakni : Indunesia (dari kata Indu dan Nesos) atau Malayunesia (dari Malayu dan Nesos  --- kata Nesos dalam sebutan tersebut berasal dari bahasa Yunani yang berarti Pulau, sama dengan Nusa dalam bahasa Sansekerta). Pada halaman 71 tersebut tertulis : “… the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians. Earl sendiri lebih memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) ketimbang Indunesia (Kepulauan Hindia). Sebutan Malayunesia  menurutnya sangat tepat bagi ras Melayu, sementara sebutan Indunesia dapat saja digunakan untuk kawasan Srilanka (Ceylon) dan Maladewa (Maldives). Lagi pula, tambahnya, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini ? Dalam tulisannya tersebut Earl kemudian secara berlajut menggunakan sebutan Malayunesia dan tidak lagi memakai sebutan Indunesia.
           Sementara di pihak lain (namun dalam JIAEA Volume IV yang sama), halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel berjudul The Ethnology of the Indian Archipelago. Dalam awal tulisannya, Logan setuju terhadap pendapat Earl dan menegaskan perlunya sebuah nama khas bagi kepulauan yang saat itu disebut sebagai Indian Archipelago (Kepulauan India). Sebab menurutnya sebutan “Indian Archipelago” terlalu panjang dan lagi acapkali membingungkan. Lalu Logan memungut nama Indunesia yang dicetuskan oleh Earl terdahulu, namun dengan cara menggati huruf u (pada Indunesia) dengan huruf o, alasanya agar ucapannya lebih baik, dan kemudian lahirlah nama Indonesia untuk pertama kalinya di dunia (tahun 1859).
           Sebutan Indonesia dalam tulisan Logan yang pertama kali di Dunia tersebut tepatnya terletak pada halaman 254 yang menyatakan : “Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago”.
          Dari sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan tak lama kemudian lambat-laun pemakaian sebutan yang khas tersebut menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi/etnografi dan geografi.
          Pada tahun 1884 Adolf Bastian (1826-1905) seorang guru besar etnologi di Universitas Berlin) menerbitkan buku tentang Indonesia berjudul Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel (sebanyak 5 volume), yang isinya memuat hasil penelitiannya ketika ia mengembara ke kawasan ini dalam tahun 1864 – 1880. Buku Bastian inilah yang boleh dibilang mulai memopulerkan istilah “Indonesia”, di kalangan ilmuwan, khusunya di kalangan para sarjana Belanda, dalam pada itu sempat timbul salah anggapan bahwa sebutan “Indonesia” itu ciptaan Bastian (saking lekatnya nama Indonesia dalam buku Bastian). Pendapat yang keliru ini bahkan antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil sebutan “Indonesia” tersebut dari Logan.
          Pada akhirnya (hingga saat ini) nama Malayunesia kemudian menjadi Malaysia, sementara Indunesia setelah diubah oleh Logan menjadi Indonesia.
    ---

    Nama Indonesia di masa awal pergerakan Nasional (Pada awal abad ke-20)

           Warga bangsa Indonesia yang tercatat secara resmi sebagai orang pertama yang menggunakan sebutan “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat (alias Ki Hajar Dewantara). Yakni ketika ia dibuang ke Negeri Belanda tahun 1913, di mana di sana beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau (Biro Pers Indonesia).
           Di masa kebangkitan Nasional (terutama sekitar tahun 20-an) nama Indonesia tersebut mempunyai makna dan gaung tersendiri secara politis, karena menjadi penjelas identitas suatu tanah air bagi bangsa yang terjajah; makanya di masa awal pergerakan nama Indonesia tersebut sempat menimbulkan kecurigaan sekaligus kekhawatiran dari pihak pemerintah jajahan Belanada kala itu.
         Sebagai suatu bagian dari langkah ke arah politik kemerdekaan Nasional bangsa Indonesia, banyak kegiatan dilakukan oleh para tokoh pertintis kemerdekaan saat itu, dengan menggunakan sebutan Indonesia sebagai “nama bertuah”. Di antaranya  pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta (seorang mahasiswa Handels Hoogeschool/Sekolah Tinggi Ekonomi di Rotterdam), organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda, yang dibentuk pada tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging diubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia.
          Lalu majalah organisasi mereka, yang semula bernama Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Dalam tulisannya pada suatu edisi majalah tersebut Bung Hatta menegaskan bahwa : “Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya”. — Sementara itu, di tanah air pada tahun 1924 Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club.
           Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah konon tiga organisasi utama di tanah air yang mula-mula secara terang-terangan menggunakan nama “Indonesia” pada masa pra-kemerdekaan. Akhirnya pada tahun 1928 untuk pertama kalinya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa Nasional dalam suatu kongres yang disebut Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini disebut sebagai Sumpah Pemuda. Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Moehammad Hoesni Thamrin, Wiwoho Poerbohadidjojo, dan Soetardjo Kartohadikoesoemo, mengajukan mosi (petisi) kepada Pemerintah Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch-Indie”. Namun Belanda tidak peduli dan bahkan mosi (petisi yang kemudian dikenal sebagai Petisi Soetardjo) tersebut ditolak mentah-mentah.
           Pada tahun 40-an tatkala pecah Perang Dunia ke-II, Belanda di Indonesia dengan mudah dapat dikalahkan oleh pasukan Jepang. Dengan jatuhnya Hindia-Belanda ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, maka secara serta-merta lenyaplah sudah nama “Hindia Belanda” untuk selamanya dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi kemudian pada tanggal 17 Agustus 1945, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
         
          Begitulah sekilas kisah asal-usul  nama Indonesia dan Nusantara. Kini kedua nama/sebutan tersebut acapkali digunakan dalam berbagai kesempatan, dalam banyak bidang yang sangat beragam. Keduanya memang beda (dengan makna masing-masing) namun bagaikan  dua sisi keping mata uang, keduanya sama-sama mempunyai arti yang menyatu, seakan tak dapat dipisahkan dengan begitu saja.
    ---

    ----
    SITUS REFERENSI TENTANG INDONESIA DAN NUSANTRA
    1.
    2.
    Berbagai sumber
         
     clip_image002
    —————————————