DAENG SUTIGNA atau dalam ejaan lama DAENG SOETIGNA adalah seorang tokoh budaya Indonesia/Nusantara berasal dari Sunda (Jawa Barat) yang dikenal sebagai pencipta/penemu dan pengembang musik angklung bernada diatonis (doremi). — Lahir di Garut (Jawa Barat) pada tgl. 13 Mei 1908, dan meninggal di Bandung (Jawa Barat) pada tgl. 8 April 1984, dalam usia sekitar 76 tahun (dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra Bandung). — Sejak semula tokoh yang berkecimpung dalam dunia pendidikan ini (sebagai Guru) menyukai musik dan pandai memainkan gitar dan piano; dan sudah sejak lama (dari semenjak kecil) menggemari musik angklung tradisional Sunda tempat kelahiranya. — Pada masa kecil konon ia mempunyai julukan/nama panggilan Enclé.
Pernah mengenyam pendidikan di Kweekschool (1928); belajar musik secara otodidak. — Setelah lulus dari Kweekschool (1928), ia menjadi guru dan mengajar di Schakel School Cianjur, Jawa Barat (1928–1932). Kemudian pindah mengajar ke HIS Kuningan, Jawa Barat (1932–1942). Pada saat menjadi guru di Kuningan inilah ia mulai mempelajari seluk-beluk angklung secara lebih mendalam, dan berguru untuk dapat memainkan serta membuat angklung sendiri kepada salahseorang pemusik dan pembuat angklung tradisional bernama Jaya (= Djaja, dalam ejaan lama).
Di jamannya (menjelang akhir tahun 1930-an) musik angklung tradisional Sunda nampaknya sudah menunjukkan gejala akan tersisihkan sebagai musik rakyat karena berbagai sebab (terutama mungkin karena kala itu masyarakat pendukungnya sudah kurang menyukai musik angklung, ditambah dengan mulai hilangnya upacara adat pertanian sakral menurut kepercayaan lama yang biasa menggunakan angklung sebagai alat pengiring utama, dan lagi gaya hidup masyarakat kala itu yang bertambah moderen dan cenderung kurang menyukai/menghargai musik tradisional yang dianggap berbau kuno serta lebih senang mendengarkan musik Barat yang dianggap lebih moderen). Kemudian angklung tradisional Sunda yang telah lama mentradisi tersebut lambat-laun menjadi tersisihkan dan hanya sering dimainkan oleh pengamen/pengemis yang keliling kampung saja.
Dalam keadaan seperti itu Pa Deng (begitu panggilan akrabnya) di rumah kediamannya di Kuningan pada suatu hari (pada tahun 1938) kedatangan dua pengamen angklung yang memainkan angklung tradisional Sunda/bernada pentatonis. Ketika mendengar musik angklung yang digemarinya hatinya tergetar dan tesentuh kemudian dengan rasa iba ia membeli angklung pentatonis tersebut. Dalam pada itu bunyi angklung yang merdu namun melankolis itu membuat hatinya terharu sekaligus risih mengingat nasib angklung yang kurang baik; ia menghawatirkan akan nasib angklung di kemudian hari yang tak mustahil akan musna karena terpaan jaman yang tambah moderen. Namun dalam pada itu (dengan perasaan sedikit risau namun optimis) lalu ia pelajari angklung yang telah ia beli dari pengamen tersebut dengan seksama. Kemudian timbul hasrat dan semangatnya dengan sungguh-sungguh untuk mencoba melestarikannya angklung dengan cara beradaptasi terhadap situasi dan kondisi kala itu; timbul gagasan untuk modernisasi angklung dengan mengembangkannya ke arah lain dalam bentuk baru yang secara adaptif menyesuaikan dengan keadaan zaman. — Setelah mampu membuat angklung sendiri, ia berupaya membuat angklung bertangganada diatonis, dengan berbekal kepandaiannya dalam memainkan beberapa alat musik asal Barat, seperti gitar dan piano, maka kemudian terciptalah musik angklung diatonis.
Pada awalnya ide baru ini kurang begitu mendapat perhatian dan bahkan tak mustahil ada sementara pihak yang tidak/kurang setuju, namun pendiriannya tetap kukuh dan gigih untuk terus membuat angklung bernada musik Barat (diatonis) tersebut, dengan cara diperkenalkan dan diajarkan pada anak muridnya di Sekolah (pada mulanya secara khusus pada anak pramuka/pandu kala itu; setelah dikenal di kalangan Pramuka sebagai alat musik yang menyenangkan, akhirnya permainan musik angklung diatonis bisa diterima dan kemudian diajarkan di sekolah-sekolah).
Dalam usaha tahap memperkenalkan lebih lanjut ke dunia yang lebih luas ia pernah mendapatkan kesempatan untuk memainkan angklung diatonis ciptaannya dalam forum Perundingan Linggarjati pada 12 November 1946 (yang dihadari banyak tokoh asing, baik dari Belanda maupun pihak sekutu dan lainnya). Lalu atas permintaan Presiden Soekarno ia mendapat kehormatan untuk memainkan lagi pertunjukan angklung tersebut di Istana Negara, Jakarta, dalam acara perpisahan dengan Laksamana Lord Louis Mountbatten, Panglima Tentara Sekutu untuk Asia Tenggara (yang juga ikut hadir pada acara Perundingan Linggar Jati di Kuningan). Selain itu kemudian pada tahun 1955 dalam kesempatan acara Konferensi Asia Afrika di Gedung Merdeka, Bandung. Ia juga diminta menggelar konser angklung hasil kreasinya. Sejak itu, angklung diatonisnya sering dipertunjukan dalam berbagai acara resmi, seperti dalam World Fair di New York, Amerika Serikat (1964), di mana ia memimpin pertunjukan kesenian Indonesia termasuk angklung di paviliun Indonesia selama 8 bulan. Lalu dilanjutkan dengan mengadakan pertunjukan di Negeri Belanda dan Perancis. Tahun 1967 ia pun mengadakan pertunjukan muhibah berkeliling di berbagai kota di Malaysia.
Atas jasa-jasanya dalam mengembangkan musik angklung, Daeng Soetigna (Pa Daeng) — yang pernah mendapat tugas belajar Colombo Plan ke Australia (1955-1956) ini — mendapat piagam penghargaan dari beberapa pihak yakni Piagam Penghargaan dari Gubernur Jawa Barat (1966), Piagam Penghargaan dari Gubernur DKI Jakarta (1968), Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden Soeharto (1968), Anugerah Bintang Budaya Parama Dharma (2007) dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan diusulkan untuk mendapat gelar pahlawan Nasional dari Jawa Barat dalam bidang seni dan budaya.
Dalam tahap selanjutnya angklung diatonis yang kemudian dikenal juga dengan sebutan Angklung Pa Daeng atau Angklung Indonesia kemudian dikembangkan oleh Ujo Ngalagena sebagai muridnya sekaligus sebagai pelanjutnya yang pada tahun 1966 membangun Sanggar Angklung Mang Ujo di Bandung, yang kini dikenal sebagai Saung Angklung Ujo (SAU). — Di Saung Angklung Ujo ini (di Jl Padasuka Bandung) pada 20 Desember 2008 para seniman Jawa Barat pernah mengadakan suatu acara khusus untuk mengenang dan melakukan penghormatan terhadap jasa-jasa Pa Daeng, dengan tema : ‘Daeng Soetigna : A-trail Top Inovation In World Music History’, yang diisi dengan berbagai seminar yang dipandu oleh musisi Dwiki Dharmawan.
---
---
RINGKASAN RIWAYAT HIDUP DAENG SUTIGNA (PA DAENG)
---
Lahir di : Garut, Jawa Barat 13 Mei 1908
Meninggal dunia di : Bandung, Jawa Barat,8 April 1984
Pendidikan : Kweekschool (1928)
Karier :
(1) Pengajar/Guru Schakel School Cianjur, Jawa Barat (1928-1932). | |
(2) Pengajar HIS Kuningan, Jawa Barat (1932-1942). | |
(3) Kepala Sekolah Rakyat Kuningan, Jawa Barat (1942-1949). | |
Pegawai Bantu pada Jawatan Kebudayaan Jawa Barat (1949-1950). | |
(5) Penilik Sekolah pada bagian kursus-kursus di Kementrian P.P dan K di Jakarta (1950-1951). | |
(6) Pengajar pada Balai Pendidikan Guru, Bandung, Jawa Barat (1951-1955). | |
(7) Mendapat tugas belajar Colombo Plan ke Australia (1955-1956) | |
(8) Kepala Jawatan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat (1956-1960). | |
(9) Kepala Konservatori Karawitan Jurusan Sunda Bandung, Jawa Barat (1960-1964), | |
(10) Anggota Staf Ahli BAPPENDA Jawa Barat (1980-1984) |
Penghargaan :
(1) Piagam penghargaan Gubernur Jawa Barat (1966). | |
(2) Piagam penghargaan Gubernur DKI Jakarta (1968). | |
(3) Satya Lencana Kebudayaan (1968), dari Presiden Soeharto. | |
(4) Anugerah Bintang Budaya Parama Dharma (2007) dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono |
SUMBER REFERENSI
1. | Contoh |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar